Loading...
Kembali

Memahami Culturally Responsive Teaching di Era Kurikulum Merdeka

Dipublikasikan oleh AFINA ANINNAS

Pada 31 January 2025

Halo Rekan Guraru! Indonesia merupakan negara yang sangat kental dengan keragaman dan kulturnya. Setiap daerah pasti memiliki kultur yang berbeda dengan daerah lain meskipun masih termasuk dalam satu rumpun. Misalnya, ada keluarga dari suku tertentu yang mengajarkan anak-anaknya untuk membungkuk saat berjalan melewati orang yang lebih dewasa, tidak boleh menimbulkan bunyi saat mengunyah makanan, tingkatan bahasa untuk berbicara dengan orang yang lebih tua, atau menjaga perasaan orang lain yang sering kita sebut “tidak enakan/ people pleaser”. Perbedaan kebudayaan ini pada akhirnya membentuk karakteristik pribadi yang unik bagi peserta didik. Oleh karena itu, sebagai Guru yang ingin menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, kita harus mempertimbangkan latar belakang budaya peserta didik saat merancang pembelajaran dan asesmen. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan Culturally Responsive Teaching (CRT).

Pengertian Culturally Responsive Teaching (CRT)

Culturally Responsive Teaching (CRT) atau pendidikan tanggap budaya merupakan pendekatan pembelajaran yang mengakui dan mengintegrasikan budaya peserta didik dalam kurikulum sekolah dan membuat hubungan yang bermakna dengan budaya masyarakat. Culturally Responsive Teaching didasarkan pada teori sosiokultural, bahwa perkembangan kognitif dapat ditumbuhkan melalui penggunaan praktik, alat, dan simbol yang dibangun secara budaya. CRT dirancang untuk membantu menumbuhkan potensi peserta didik dengan menggunakan hubungan budaya yang bermakna untuk menyampaikan pengetahuan, sikap akademis dan sosial.

Prinsip Culturally Responsive Teaching (CRT)

Penerapan pendekatan CRT memiliki lima prinsip yaitu

  1. Pentingnya budaya, Budaya merupakan faktor penting yang mempengaruhi cara siswa belajar dan berperilaku. Seorang guru harus memahami budaya peserta didik dan bagaimana budaya tersebut memengaruhi proses pembelajaran.
  2. Pengetahuan terbentuk sebagai bagian dari konstruksi sosial, Pengetahuan tidak ditransfer secara pasif dari guru ke peserta didik, melainkan dikonstruksi oleh siswa melalui interaksi peserta didik dengan budaya tersebut. Sebagai fasilitator, guru harus memfasilitasi interaksi budaya dan mengintegrasikan dengan pembelajaran agar peserta didik dapat membangun pengetahuan mereka sendiri
  3. Inklusivitas budaya, seluruh peserta didik memiliki kesempatan belajar dan berkembang yang sama terlepas dari latar belakang budaya mereka. Guru harus memastikan bahwa proses pembelajaran yang dilaksanakan inklusif dan responsif terhadap kebutuhan seluruh peserta didik. Misalnya, penggunaan satu bahasa yang dimengerti oleh seluruh peserta didik agar peserta didik yang menggunakan bahasa dari daerah yang berbeda merasa diterima dan dihargai.
  4. Prestasi akademis tidak terbatas pada dimensi intelektual ansich. Prestasi akademis bukan hanya terbatas pada hasil nilai dan tes, melainkan mencakup pengembangan keterampilan sosial, emosional dan kognitif. Peserta didik harus didorong untuk mengembangkan seluruh aspek keterampilan dalam diri mereka.
  5. Keseimbangan dan keterpaduan antara kesatuan dan keragaman. Guru sebagai fasilitator harus membantu peserta didik untuk memahami bahwa mereka adalah bagian dari manusia Indonesia yang beragam.

Langkah Penerapan Culturally Responsive Teaching (CRT)

Langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan CRT yaitu sebagai berikut.

  1. Identitas diri peserta didik, Guru mengajak peserta didik untuk mengenali identitas budayanya kemudian membantu mereka untuk mengaitkan dengan materi yang akan disampaikan,
  2. Pemahaman budaya, Peserta didik mengonstruksikan pemahaman budaya dan kaitannya dengan ilmu pengetahuan baru yang diperoleh dari berbagai sumber.
  3. Kolaborasi, Peserta didik bekerja dalam kelompok untuk berdiskusi terkait konsep yang dipelajari dan relevansinya dalam perspektif budaya
  4. Berpikir kritis untuk refleksi, Peserta didik mengemukakan pendapat dan membandingkan hasil diskusinya dengan teori yang ada dengan bimbingan guru
  5. Konstruksi transformative, Peserta  didik  menyajikan pemahaman mereka melalui sebuah proyek sesuai dengan minat mereka tanpa dibatasi kreasinya oleh guru.

Aksi Nyata Penerapan CRT

Skenario dalam aksi nyata ini adalah terdapat seorang guru IPA kelas 7 di daerah Jawa Timur. Materi yang diajarkan adalah pemisahan campuran sederhana. Langkah aksi nyata yang dilakukan oleh guru tersebut adalah:

  1. Menganalisis capaian pembelajaran. Diperoleh tuntutan capaian pembelajaran yaitu Pada akhir fase D, peserta didik mampu melakukan klasifikasi makhluk hidup dan benda berdasarkan karakteristik yang diamati, mengidentifikasi sifat dan karakteristik zat, membedakan perubahan fisik dan kimia serta pemisahan campuran sederhana.
  2. Menentukan tujuan pembelajaran berdasarkan analisis capaian pembelajaran.
  3. Melakukan asesmen diagnostik terkait budaya peserta didik. Diperoleh hasil bahwa 100% peserta didik homogen dari suku Jawa.
  4. Guru tersebut memutuskan menggunakan integrasi budaya pembuatan jamu tradisional dengan materi pemisahan campuran.
  5. Pendekatan yang digunakan adalah CRT dan STEM. Science: pemisahan campuran dengan cara ekstraksi; ethno technology: proses pembuatan jamu dari kunyit, temulawak, daun pepaya dsb dengan peralatan yang terbuat dari batu dan tanah liat; ethno engineering: ide kreatif dalam berupaya menghasilkan ekstrak yang awet; ethnomathematics: perhitungan komposisi bahan baku, peluang usaha.
  6. Menyusun modul ajar dengan pendekatan CRT. Alat dan bahan yang digunakan peserta didik mudah ditemui di sekitar. Pada bagian apersepsi, peserta didik diberikan pertanyaan pemantik terkait pengetahuan peserta didik tentang jamu. Kemudian pada bagian stimulasi, diberikan bahan bacaan terkait budaya tradisional meminum jamu dan cara pembuatannya.
  7. Menyusun LKPD berbasis CRT dan STEM
  8. Menyusun bahan ajar yang berbasis CRT yaitu integrasi konsep pemisahan campuran dengan pembuatan jamu tradisional
  9. Menyusun media pembelajaran yang disesuaikan dengan gaya belajar peserta didik.
  10. Melakukan asesmen formatif terkait keterlaksanaan pembelajaran.

Nah itulah penjelasan terkait culturally responsive teaching. Semoga dapat menambah menambah wawasan dan dijadikan referensi Rekan Guraru untuk mengembangkan modul ajar dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Semangat berinovasi!

 

Referensi

Abdulrahim, N. A., & Orosco, M. J. (2020). Culturally responsive mathematics teaching: A research synthesis. The urban review, 52, 1-25.

Vavrus, M. (2008). Culturally responsive teaching. 21st century education: A reference handbook, 2, 49-57.

Musanna, A. (2011). Model pendidikan guru berbasis kebhinekaan budaya di indonesia. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 17(4), 383-390.

 

 

Logo

Platform Guru Era Baru ini telah mengalami perkembangan yang awalnya adalah hanya mewadahi komunitas antara sesama guru dan praktisi pendidikan, namun kini bertransformasi menjadi sebuah wadah solusi pendidikan yang memudahkan mereka untuk dapat mengembangan kapasitas dan daya saing mereka di era digital ini melalui dukungan teknologi.